BAB
II
LANDASAN
TEORI
A.
Pembelajaran
Matematika
1.
Hakekat
matematika
Kata matematika berasal dari perkataan Latin mathematika yang
mulanya diambil dari perkataan Yunani mathematike yang berarti
mempelajari. Perkataan itu mempunyai asal katanya mathema yang
berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata mathematikeberhubungan
pula dengan kata lainnya yang hampir sama yaitu, matheinatau mathenein yang
artinya belajar (berpikir). Jadi, berdasarkan asal katanya, maka perkataan
matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar).
Matematika lebih menekankan kegiatan dalam dunia rasio (penalaran), bukan
menekankan hasil eksperimen atau hasil observasi matematika terbentuk karena
pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan idea, proses dan penalaran
(Ruseffendi, 1988:148).
Matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunianya secara empiris.
Kemudian pengalaman itu diproses di dalam dunia rasio, diolah secara analisis
dengan penalaran di dalam struktur kognitif sehingga sampai terbentuk
konsep-konsep matematika supaya konsep-konsep matematika yang terbentuk itu
mudah dipahami oleh orang lain dan dapat dimanipulasi secara tepat, maka
digunakan bahasa matematika atau notasi matematika yang bernilai global. Konsep
matematika didapat karena proses berpikir, karena itu logika adalah dasar
terbentuknya matematika.
Undang-undang Sistem Pendidikan No.20 tahun 2003 Bab I pasal 20 memberikan
pengertian pembelajaran, yakni: “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta
didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”.
Oleh karena itu, dalam pembelajaran matematika siswa mempelajari mulai dari
proses terbentuknya suatu konsep kemudian berlatih menerapkan dan memanipulasi
konsep-konsep tersebut pada situasi baru agar siswa terhindar dari verbalisme.
Karena dalam setiap hal yang dilakukannya dalam kegiatan pembelajaran ia
memahaminya mengapa dilakukan dan bagaimana melakukannya.
Setelah terjadi proses belajar mengajar, maka diharapkan terjadi suatu
perubahan pada diri siswa, baik perubahan pengetahuan, keterampilan maupun
sikap. Perubahan tingkah laku inilah yang disebut hasil belajar.
Tujuan mata pelajaran matematika yang tercantum dalam KTSP pada SD/MI
adalah sebagai berikut:
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat, dalam pemecahan masalah.
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat,
melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti,
atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan
memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh.
d. Mengkomunikasikan
gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas
keadaan atau masalah.
e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika
dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah (Hamdani, 2008:10).
2.
Belajar
Matematika di SD
Dalam pembelajaran matematika, guru perlu memahami teori-teori
belajar. Yang nantinya itulah yang dijadikan pedoman dalam membuat
suatu metode pembelajaran. Ada beberapa teori-teori pembelajaran matematika di
SD yang diungkapkan oleh para ahli.
2.1. Teori Belajar Menurut Jerome S. Brunner
Teori ini menyatakan bahwa :
“Belajar matematika akan lebih berhasil jika
proses pengajaran di arahkan kepada konsep-konsep dan stuktur yang termuat
dalam pokok bahasan yang diajarkan dan dengan menggunakan alat peraga serta
diperlukannya keaktifan siswa tersebut.”
Brunner mengemukakan bahwa dalam proses belajar siswa melewati 3 tahap yaitu :
a. Tahap Enaktif
Dalam tahap ini siswa secara langsung terlibat dalam memanipulasi objek.
Yaitu dengan menggunakan benda-benda yang konkrit atau peritiwa yang biasa
terjadi.
Contoh : Budi mempunyai 2
pinsil, kemudian ibunya memberikannya lagi 3 pinsil.
Berapa
banyak pinsil Budi sekarang ?
b. Tahap Ikonik
Dalam tahap ini kegiatan dilakukan siswa berhubungan dengan mental, di mana
siswa mengubah, menandai, dan menyimpan peristiwa atau benda dalam bentuk
bayangan mental. Misalnya dengan membayangkan dalam pikirannya tentang benda
atau peristiwa yang dialaminya, walaupun benda tersebut tidak ada dihadapannya
lagi atau dengan menggunakan gambar.
Contoh :
!! + !!! = …
c. Tahap Simbolik
Dalam tahap ini anak dapat mengutarakan bayangan mental tersebut dalam
bentuk simpul dan bahasa. Anak tidak terikat lagi dengan objek-objek pada tahap
sebelumnya dan sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap
objek real.
Contoh :
2 pinsil + 3 pinsil = …pinsil
Berdasarkan hasil pengamatannya, Brunner merumuskan 5 teorema dalam
pembelajaran matematika, yaitu :
1) Teorema Penyusunan
Menerangkan bahwa cara yang terbaik memulai belajar
suatu konsep matematika, dalil, defenisi, dan semacamnya adalah dengan cara
menyusun penyajiannya. Misalnya dalam mempelajari penjumlahan bilangan positif
dan negatif siswa mencoba sendiri dengan menggunakan garis bilangan.
2) Teorema Notasi
Menerangkan bahwa dalam pengajaran suatu konsep, penggunaan notasi-notasi
matematika harus diberikan secara bertahap, dari yang sederhana ke yang lebih
kompleks.
3) Teorema Pengkontrasan dan Keanekaragaman
Menerangkan bahwa pengontrasan dan keanekaragaman
sangat penting dalam melakukan pengubahan konsep matematika dari yang konkrit
ke yang lebih abstrak. Dalam hal ini diperlukan banyak contoh. Contoh yang
diberikan harus sesuai dengan rumusan yang diberikan. Misalnya menjelaskan
persegi panjang, disertai juga kemungkinan jajaran genjang dan segi empat
lainnya selain persegi panjnag. Dengan demikian siswa dapat membedakan apakah
segi empat yang diberikan padanya termasuk persegi panjang atau tidak.
4) Teorema Pengaitan
Menerangkan bahwa dalam matematika terdapat hubungan yang berkaitan antara
satu konsep dengan konsep yang lain. Di mana materi yang satu merupakan
prasyarat yang harus diketahui untuk mempelajari materi yang lain.
2.2. Teori Belajar Menurut Van Hiele
Teori ini menyatakan bahwa :
“Tiga unsur
utama dalam pengajaran geometri, yaitu waktu, materi pengajaran dan metode
pengajaran yang diterapkan, jika secara terpadu akan dapat meningkatkan kemapuan
berfikir siswa kepada tingkatan berfikir yang lebih tinggi.”
Van
Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar siswa dalam belajar geometri,
yaitu :
a. Tahap Pengenalan
Pada tahap ini siswa mulai belajar mengenal suatu
bangun geometri secara keseluruhan namun belum mampu mengetahui adanya
sifat-sifat dari bangun geometri yang dilihatnya.
b. Tahap Analisis
Pada tahap ini siswa sudah mulai mengenal sifat-sifat
yang dimiliki bangun geometri yang diamatinya.
c. Tahap Pengurutan
Pada tahap ini siswa sudah mengenal dan memahami
sifat-sifat suatu bangun geometri serta sudah dapat mengurutkan bangun-bangun
geometri yang satu sama yang lainnya saling berhubungan.
d. Tahap Deduksi
Pada tahap ini siswa telah mampu menarik kesimpulan
secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan yang bersifat umum dan menuju ke hal
yang bersifat khusus serta dapat mengambil kesimpulan.
e. Tahap Akurasi
Pada tahap ini siswa mulai menyadari
pentingnya ketepatan prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian.
Tahap berfikir ini merupakan tahap berfikir yang paling tinggi, rumit, dan
kompleks, karena di luar jangkauan usia anak-anak SD sampai tingakat SMP.
2.3. Teori Belajar Menurut William Brownell
Teori ini menyatakan bahwa :
“Belajar
matematika merupakan belajar bermakna, dalam arti setiap konsep yang dipelajari
harus benar-benar dimengerti sebelum sampai pada latihan ata hafalan.”
Brownell mengemukakan tentang Teori Makna (Meaning Theory)sebagai
pengganti Teori Latihan Hafal/Ulangan (Drill Theory).
Intisari dari teori Drill adalah :
· Matematika untuk tujuan pembelajaran dianalisis sebagai kumpulan fakta yang
berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan.
· Anak diharuskan menguasai unsur-unsur yang banyak sekali tanpa diperhatikan
pengertiannya.
· Anak mempelajari unsur-unsur dalam bentuk seperti yang akan digunakan nanti
dalam kesempatan lain.
· Anak akan mencapai tujuan ini secara efektif dan efisien dengan melalui
pengulangan.
Brownell mengemukakan ada 3 keberatan utama berkenaan
dengan teori Drill dalam pengajaran matematika, yaitu :
1. Teori drill
memberikan tugas yang harus dipelajari siswa yang hampir tidak mungkin dicapai.
2. Keberatan yang
lainnya berkaitan dengan reaksi yang dihasilkan oleh drill.
3. Tidak memadai
dalam pengajaran aritmatika, karena tidak menyediakan kegiatan untuk berfikir
secara kuantitatif.
Sedangkan intisari dari teori makna adalah :
· Anak harus melihat makna dari apa yang dipelajarinya.
· Teori drill dipakai setelah konsep, prisip, dan proses telah dipahami oleh
siswa.
· Mengembangkan kemampuan berfikir dalam situasi kuantitatif.
· Program aritmatika membahas tentang pentingnya dan makna dari bilangan.
2.4. Teori Belajar Menurut Van Eugen
Teori ini menyatakan bahwa :
“Tujuan
pengajaran aritmatika adalah untuk membantu anak memahami suatu simbol yang
mewakili suatu himpunan, kejadian, dam serentetan kegiatan yang diberi simbol
itu harus langsung dialami oleh anak.”
Van Eugen (1949), seorang penganut teori makna
mengatakan bahwa dalam situasi yang bermakna selalu terdapat 3 unsur, yaitu :
a. Ada suatu
kejadian (event), benda (object), atau
tindakan (action).
b. Adanya simbol
(lambang/notasi/gambar) yang digunakan sebagai penyataan yang mewakili unsur
pertama di atas.
c. Adanya individu
yang menafsirkan simbol-simbol yang mengacu kepada unsur pertama di atas.
Van Eugen membedakan makna (meaning) dan
mengerti(understanding),. Mengerti mengacu pada sesuatu yang
dimiliki oleh individu. Individu yang mengerti telah memiliki hubungan sebab
akibat, implikasi logis dan sebaris pemikiran yang mengandungkan dua atau lebih
pernyataan secata logis makna adalah sesuatu yang dibaca dari sebuah simbol
oleh seorang anak. Dengan kata lain anak menyadari bahwa simbol adalah sesuatu
pengganti suatu objek.
2.5. Teori Belajar Menurut Prof. Robert M. Gagne
Teori ini menyatakan bahwa :
“Dalam
pembelajaran matematika di SD diperlukan objek belajar matematika dan tipe-tipe
belajar.”
1. Objek Belajar Matematika
Menurut Gagne bahwa dalam belajar matematika dua objek
yaitu objek langsung dan objek tidak langsung. Objek tidak langsung mencangkup
kemampuan menyelidik, memecahkan masalah, disiplin diri, bersikap positif, dan
tahu bagaimana semestinya belajar.
2. Tipe-Tipe Belajar
Telah dibedakan ke dalam 8 tipe belajar yang terurut
kesukarannya dari yang sederhana sampai
kepada yang kompleks. Urutan ke 8 tipe belajar itu adalah :
¨ Belajar isyarat (signal learning), yaitu belajar
sesuatu yang tidak disengaja.
¨ Belajar stimulus respon (stimulus responses
learning), yaitu belajar sesuatu dengan sengaja dan responnya adalah
jasmani.
¨ Rangkaian gerak (motor learning), yaitu belajar dalam
bentuk perbuatan jasmaniah terurut dari dua kegiatan atau lebih stimulus
respon.
¨ Rangkaian verbal, yaitu berupa perbuatan lisan terurut dari dua
kegiatan atau lebih stimulus respon.
¨ Belajar membedakan, yaitu belajar memisahkan rangkaian
yang bervariasi. Ada dua macam belajar membedakan, yaitu :
a Membedakan tunggal, yaitu berupa pengertian siswa
terhadap suatu lambang.
a Membedakan jamak, yaitu membedakan beberapa lambang tertentu.
¨ Belajar konsep ( concept learning), yaitu belajar atau
melihat sifat bersama dari suatu benda atau peristiwa.
¨ Belajar aturan (rule learning), yaitu memberikan respon
terhadap semua stimulus dengan segala macam perbuatan.
¨ Pemecahan masalah (problem solving), yaitu masalah bagi siswa
bila sesuatu itu baru dikenalnya tetapi siswa telah memiliki prasyarat hanya
siswa belum tahu proses algoritmanya.
2.5. Teori Belajar Menurut Zoltan P. Dienes
Teori ini menyatakan bahwa :
“Tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan
dalam bentuk yang konkrit akan dapat dipahami dengan baik dan benda atau objek
dalam bentuk pemainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam
pengajaran matematika.”
Dalam konsepnya itu, Dienes membagi tahap-tahap
belajar dalam 6 tahap, yaitu :
a. Permainan Bebas (Free Play)
Yaitu dengan melakukan aktifitas yang tidak
berstruktur dan tidak diarahkan. Di mana siswa mengadakan percobaan yang
mengotak-atik benda-benda konkrit dan abstrak dari unsur yang sedang
dipelajarinya itu.
b. Permainan yang Disertai Aturan (Games)
Siswa meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat
dalam konsep tertentu.
c. Permainan Kesamaan Sifat (Searching for comunities)
Siswa diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat
kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti.
d. Representasi (Representasi)
Yaitu tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa
situasi yang sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep
tertentu yang bersifat abstrak. Dengan demikian telah mengarah pada pengertian
struktur matematika yang sifatnya abtrak yang terdapat dalam konsep yang sedang
dipelajari.
e. Simbolisasi (Symbolization)
Yaitu merumuskan representasi dari setiap konsep
dengan menggunakan simbol matematika.
f. Formalisasi (Formalization)
Dalam hal ini siswa dituntut untuk menurutkan
sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut.
2.6. Teori Belajar Menurut Jean Peaget
Teori
ini menyatakan bahwa :
“Jika kita akan memberikan pelajaran tentang sesuatu
kepada anak didik, maka kita harus memperhatikan tingkat perkembangan berfikir
anak tersebut.”
Dengan teori belajar yang disebut Teori Perkembangan
Mental Anak (Mental atau Intelektual dan Kognitif) atau ada pula yang
menyebutnya Teori Tingkat Perkembangan Berfikir Anak telah membagi tahapan
kemampuan berfikir anak menjadi empat tahapan yaitu :
· Tahap sensori motorik (dari lahir sampai usia 2 tahun)
· Tahap operasional awal/piaoperasi (usia 2 sampai 7 tahun)
· Tahap operasional/operasi konkrit (usia 7 sampai 11/12 tahun)
· Tahap operasional formal (usia 11 tahun ke atas)
Jadi, agar pelajaran matematika di SD dapat dimengerti
oleh para siswa dengan baik, maka seyogianya mengajarkan sesuatu bahasan harus
diberikan kepada siswa yang sudah siap untuk dapat menerimanya.
Tahapan perkembangan intelektual atau berfikir siswa
di SD dalam Pembelajran Matematika yaitu :
·
Kekekalan Bilangan (Banyak)
Bila anak telah memahami kekekalan bilangan, amak ia
akan mengerti bahwa banyaknya benda-benda itu akan tetap walaupun letaknya
berbeda-beda. Konsep kekekalan bilangan umumnya dicapai oleh siswa usia 6
sampai 7 tahun.
·
Kekekalan Materi (Zat)
Anak baru bisa memahami yang sama atau berbeda itu
dari satu sudut pandang yang tampak olehnya. Belum bisa melihat perbedaan atau
persamaan dari dua karakteristik atau lebih. Hukum kekekalan materi umumnya
dicapai oleh siswa usia 7 sampai 8 tahun.
·
Kekekalan panjang
Konsep kekekalan panjang umumnya dicapai oleh siswa
usia 8 sampai 9 tahun.
·
Kekekalan luas
Hukum kekekalan luas umumnya dicapai oleh siswa usia 8
sampai 9 tahun.
·
Kekekalan berat
Hukum kekekalan berat umumnya dicapai oleh
siswa usia 9 sampai 10 tahun.
·
Kekekalan isi
Usia sekitar 14-15 tahun atau 11-14 tahun anak sudah memiliki
hukum kekekalan isi.
·
Tingkat pemahaman
Tingkat pemahaman di usia SD masih mengalami kesulitan
merumuskan defenisi dengan kata-katanya sendiri. Mereka belum dapat membuktikan
dalil secara baik.
8. Teori Belajar
Menurut Edward L. Thondike
Teori belajar ini menyatakan bahwa :
“Pada
hakekatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan
respon dan belajar lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus
segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan.
3.
Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar (SD)
Matematika merupakan alat untuk
memberikan cara berpikir, menyusun pemikiran yang jelas, tepat, dan teliti.
Hudojo (2005) menyatakan, matematika sebagai suatu obyek abstrak, tentu saja
sangat sulit dapat dicerna anak-anak Sekolah Dasar (SD) yang mereka oleh
Piaget, diklasifikasikan masih dalam tahap operasi konkret. Siswa SD belum
mampu untuk berpikir formal maka dalam pembelajaran matematika sangat
diharapkan bagi para pendidik mengaitkan proses belajar mengajar di SD dengan
benda konkret.
Heruman (2008) menyatakan dalam pembelajaran matematika SD, diharapkan
terjadi reinvention (penemuan kembali). Penemuan kembali
adalah menemukan suatu cara penyelesaian secara informal dalam
pembelajaran di kelas. Selanjut Heruman menambahkan bahwa dalam pembelajaran
matematika harus terdapat keterkaitan antara pengalaman belajar siswa
sebelumnya dengan konsep yang akan diajarkan. Sehingga diharapkan pembelajaran
yang terjadi merupakan pembelajaran menjadi lebih bermakna (meaningful),
siswa tidak hanya belajar untuk mengetahui sesuatu (learning to know about),
tetapi juga belajar melakukan (learning to do), belajar menjiwai (learning
to be), dan belajar bagaimana seharusnya belajar (learning to learn), serta
bagaimana bersosialisasi dengan sesama teman (learning to live together).
Siswa
Sekolah Dasar (SD) berada pada umur yang berkisar antara usia 7 hingga 12
tahun, pada tahap ini siswa masih berpikir pada fase operasional konkret.
Kemampuan yang tampak dalam fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir
untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan
objek yang bersifat konkret (Heruman, 2008). Siswa SD masih terikat
dengan objek yang ditangkap dengan pancaindra, sehingga sangat diharapkan dalam
pembelajaran matematika yang bersifat abstrak, peserta didik lebih banyak
menggunakan media sebagai alat bantu, dan penggunaan alat peraga. Karena dengan
penggunaan alat peraga dapat memperjelas apa yang disampaikan oleh guru,
sehingga siswa lebih cepat memahaminya. Pembelajaran matematika di SD tidak
terlepas dari dua hal yaitu hakikat matematika itu sendiri dan hakikat dari
anak didik di SD. Suwangsih dan Tiurlina (2006) menyatakan ciri-ciri
pembelajaran matematika SD yaitu:
1. Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral
Pendekatan
spiral dalam pembelajaran matematika merupakan pendekatan di mana pembelajaran
konsep atau suatu topik matematika selalu mengaitkan atau menghubungkan dengan
topik sebelumnya, topik sebelumnya merupakan prasyarat untuk topik baru, topik
baru merupakan pendalaman dan perluasan dari topik sebelumnya. Konsep
yang diberikan dimulai dengan benda-benda konkret kemudian konsep itu diajarkan
kembali dengan bentuk pemahaman yang lebih abstrak dengan menggunakan notasi
yang lebih umum digunakan dalam matematika.
2. Pembelajaran matematika bertahap
Materi pelajaran matematika diajarkan secara bertahap yaitu dimulai dari
konsep-konsep yang sederhana, menuju konsep yang lebih sulit, selain
pembelajaran matematika dimuali dari yang konkret, ke semi konkret, dan
akhirnya kepada konsep abstrak.
3. Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif
Matematika
merupakan ilmu deduktif. Namun karena sesuai tahap perkembangan siswa maka pada
pembelajaran matematika di SD digunakan pendekatan induktif.
4. Pembelajaran matematika menganut
kebenaran konsistensi
Kebenaran
matematika merupakan kebenaran yang konsisten artinya pertentangan antara
kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lainnya. Suatu pernyataan dianggap
benar jika didasarkan kepada pernyataan-pernyataan sebelumnya yang telah
diterima kebenarannya. Meskipun di SD pembelajaran matematika dilakukan dengan
cara induktif tetapi pada jenjang selanjutnya generalisasi suatu konsep harus
secara deduktif.
5. Pembelajaran matematika hendaknya bermakna
Pembelajaran
matematika secara bermakna merupakan cara mengajarkan materi pelajaran yang
mengutamakan pengertian dari pada hafalan. Dalam belajar bermakna
aturan-aturan, dalil-dalil tidak diberikan dalam bentuk jadi, tetapi sebaliknya
aturan-aturan, dalil-dalil ditemukan oleh siswa melalui contoh-contoh
secara
induktif di SD, kemudian dibuktikan secara deduktif pada jenjang selanjutnya.
Tentunya
dalam mengajarkan matematika di Sekolah Dasar tidak semudah dengan apa yang
kita bayangkan, selain siswa yang pola pikirnya masih pada fase operasional konkret,
juga kemampuan siswa juga sangat beragam. Hudojo (2005) menyatakan ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengajarkan matematika di tingkat
sekolah dasar yaitu sebagai berikut:
1. Siswa
Mengajar
matematika untuk sebagian besar kelompok siswa berkemampuan sedang akan berbeda
dengan mengajarkan matematika kepada sekelompok kecil anak-anak cerdas,
sekelompok besar siswa tersebut perlu diperkenalkan matematika sebagai suatu
aktivitas manusia, dekat dengan penggunaan sehari-hari yang diatur secara
kreatif (oleh guru) agar kegiatan tersebut disesuaikan dengan topik matematika.
Untuk siswa yang cerdas, mereka akan mudah mengasimilasi dan mengakomodasi
teori matematika dan masalah-masalah yang tertera dalam buku teks.
2. Guru
Ada dua
orientasi guru dalam mengajar matematika di SD sebagai berikut:
a). Keinginan guru mengarah ke kelas
sebagai keseluruhan dan sedikit perhatian individu siswa baik reaksinya maupun
kepribadian. Biasanya mereka membatasi dirinya ke materi matematika yang
distrukturkan ke logika matematika. Mengajar matematika berarti mentranslasikan
sedekat-dekatnya ke teori matematika yang sama sekali mengabaikan kesulitan
yang dihadapi siswa.
b). Guru tidak terikat ketat dengan pola
buku teks dalam mengajar matematika. Ia mengajar matematika dengan melihat
lingkungan sekitar bersama-sama dengan siswa untuk mengeksplor lingkungan
tersebut. Kegiatan matematika diatur sedekat-dekatnya dengan lingkungan siswa
sehingga siswa terbiasa terhadap konsep-konsep matematika.
3). Alat Bantu
Mengajar
matematika di lingkungan SD, harus didahului dengan benda-benda konkret. Secara
bertahap dengan bekerja dan mengobservasi, siswa dengan sadar
menginterpretasikan pola matematika yang terdapat dalam benda konkret tersebut.
Model konsep seyogianya dibentuk oleh siswa sendiri. Siswa menjadi
“penemu” kecil. Siswa akan merasa senang bila mereka
“menemukan”.
4). Proses Belajar
Guru
seyogianya menyusun materi matematika sedemikian hingga siswa dapat menjadi
lebih aktif sesuai dengan tahap perkembangan mental, agar siswa mempunyai
kesempatan maksimum untuk belajar.
5). Matematika Yang Disajikan
Matematika
yang disajikan seyogianya dalam bentuk bervariasi. Cara menyajikannya
seyogianya dilandasi latar belakang yang realistik dari siswa. Dengan demikian
aktivitas matematika menjadi sesuai dengan lingkungan para siswa.
6). Pengorganisasian Kelas
Matematika
seyogianya disajikan secara terorganisasikan, baik antara aktivitas belajarnya
maupun didaktiknya. Bentuk pengorganisasian yang dimaksud antara lain adalah
laboratorium matematika, kelompok siswa yang heterogen kemampuannya, instruksi
langsung, diskusi kelas dan pengajaran individu. Semua itu dapat dipilih
bergantung kepada situasi siswa yang pada dasarnya agar siswa belajar
matematika.
Dengan memperhatikan ke enam hal di
atas, sangat diharapkan pembelajaran matematika menyenangkan bagi siswa dan
pembelajaran matematika menjadi efektif sehingga siswa tidak hanya mampu
menghafal konsep-konsep matematika, tetapi juga harus dapat diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari, jadi sangat diharapkan dalam proses pembelajaran yang
dipraktekkan guru juga melibatkan dan mengaktifkan siswa dalam proses menemukan
konsep-konsep matematika. Sehingga pembelajaran matematika di sekolah dasar
mampu mengembangkan kompetensi-kompetensi matematika seperti yang
terdapat dalam kurikulum matematika.
4. Proses Pembelajaran Matematika di SD
Belajar matematika adalah
bentuk belajar yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan terencana yang dalam
pelaksanaannya dibutuhkan suatu proses yang aktif individu untuk memperoleh
pengalaman atau pengetahuan baru hingga menyebabkan perubahan tingkah laku.
Proses belajar mengajar
merupakan inti dari keseluruhan proses pendidikan dengan guru sebagai pemegang
peranan utama. Belajar mengajar adalah suatu proses yang mengandung serangkaian
perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung
dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan
timbal balik antara guru dan siswa merupakan syarat utama bagi
berlangsungnya proses belajar mengajar.
Interaksi dalam proses belajar mengajar mempunyai arti yang sangat luas,
tidak sekedar hubungan guru dengan siswa tetapi interaksi edukatif. Dalam hal
ini bukan hanya menyampaikan pesan berupa materi pelajaran melainkan
juga nilai dan sikap pada diri siswa yang sedang belajar.
Untuk lebih memahami prinsip
proses belajar mengajar ada baiknya diuraikan proses belajar dan mengajar.
Pengertian proses dalam tulisan ini merupakan interaksi semua komponen atau
unsur yang terdapat dalam belajar mengajar yang satu sama lain saling
berhubungan dalam ikatan mencapai suatu tujuan (Usman, 1990: 17).
Belajar diartikan sebagai
suatu bentuk pertumbuhan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara
bertingkah laku yang baru berkat pengalaman atau latihan (hamalik,
1993: 9).
Selanjutnya menurut Hudojo
(1993: 3) bahwa karena objek matematika itu bersifat abstrak, maka dalam
matematika memerlukan daya nalar yang tinggi sehingga dapat dikatakan bahwa
belajar matematika harus selalu diarahkan pada pemahaman konsep-konsep yang
akan mengantarkan individu untuk berpikir secara matematis dengan
jelas dan pasti berdasarkan aturan-aturan yang logis dan sistematis.
Bruner (Hudojo, 1988: 56) menyatakan bahwa
belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur
matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari
hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika itu
sendiri .
Sementara itu Dienes dalam Ruseffendi (1980: 135) mengatakan bahwa konsep
(struktur matematika dapat dipelajari dengan baik bila representasinya dimulai
dengan benda-benda konkrit yang beraneka ragam).
Dengan adanya benda-benda konkret ini dapat membuat siswa tertarik untuk
mengadaptasikan dirinya pada pembelajaran dengan menggunakan benda-benda nyata
yang ada di sekitarnya. Dalam proses ini seorang siswa akan menggunakan
struktur yang sudah ada dalam pikirannya untuk mengadakan respon terhadap
tantangan lingkungan. Dalam proses akomodasi, siswa memerlukan modifikasi
struktur mental (skemata) yang sudah ada dalam mengadakan respon terhadap
tantangan/masalah yang dihadapi di lingkungannya. Teori Piaget tetang
perkembangan intelektual ini menggambarkan tentang kontruksi pembentukan
pengetahuan, bahwa perkembangan intelektual adalah suatu proses dimana anak secara
aktif membangun pemahamannya dari hasil pengalaman dan interaksi dengan
lingkungannya. Implikasi dari teori Piaget ini adalah bahwa agar siswa berhasil
dalam mempelajari matematika, maka siswa tersebut harus berinisiatif dan
terlibat secara aktif dalam pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas bahwa untuk belajar matematika siswa harus
terlibat diri secara aktif dalam kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan guru.
Keterlibatan siswa tersebut dapat diupayakan jika pembelajaran dilakukan dengan
benda-benda konkret yang dikenal siswa di linngkungannya sehingga menunjukan
adanya tantangan dan inisiatif yang kuat bagi siswa untuk memecahkannya.
5.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses
Belajar Mengajar Matematika
Dalam setiap kegiatan tidak
terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kegiatan tersebut
dalam mencapai tujuannya. Demikian halnya dengan pembelajaran matematika.
Faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain dan memiliki
keterkaitan. Menurut Sofyani, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
proses pembelajaran, yaitu:
1. Faktor
guru, meliputi latar belakang pendidikan guru, pengalaman mengajar dan
pemanfaatan waktu oleh guru.
2. Faktor
siswa, meliputi minat dan perhatian, kebiasaan belajar siswa, pengetahuan
tambahan dan latar belakang pendidikan siswa.
3. Faktor
fasilitas pendidikan.
4. Faktor
lingkungan.
Berikut akan dikemukakan satu
persatu dari semua faktor di atas, yaitu:
1. Faktor guru
Guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik, atau
siapa saja yang memberikan pengaruh positif kepada anak didik sebagai akibat
reaksi dan interaksi di antara kedua belah pihak. Ada beberapa faktor lain pula
yang mempengaruhi kepada seorang guru tersebut, diantaranya:
a). Latar Belakang
Pendidikan Guru
Latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh seorang guru terkadang tidak
sama dengan guru lainnya dalam hal pengalaman pendidikan yang pernah
ditempuhnya dalam jangka waktu tertentu. Perbedaan tersebut dilatarbelakangi
oleh jenis dan perjenjangan dalam pendidikan. Seorang guru yang
berlatarbelakang pendidikan sarjana pendidikan dan keguruan akan berbeda dengan
guru yang bukan sarjana dan keguruan, apalagi bagi guru yang hanya tamatan
sekolah menengah atas. Perbedaan tersebut akan terlihat jelas pada ilmu
pengetahuan dan penguasaan cara-cara mengajar materi pelajaran dari mata
pelajaran yang dipegangnya. Oleh karena itu keberhasilan proses pembelajaran
dalam menempuh tujuannya sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan
seorang guru yang harus sesuai dengan disiplin keilmuannya dalam menyampaikan
materi pelajaran, agar segala hal yang tidak diinginkan dapat terhindari.
b). Pengalaman Mengajar
Pengalaman adalah guru yang paling berharga. Hal tersebut tidak dapat
dipungkiri, karena disadari atau tidak, orang yang berpengalaman banyak dalam
bidang tertentu sangat jauh berbeda dengan orang yang sedikit pengalamannya.
Apalagi dikaitkan dengan bidang mengajar. Hal ini akan terlihat dari guru yang
bersangkutan saat mengelola kelasnya, interaksi dengan anak didiknya dan saat
memanfaatkan waktu yang tersedia. Dengan adanya semua hal itu, seorang guru
dituntut untuk memiliki pengetahuan yang banyak dan luas dan banyak tentang hal
yang berkaitan dengan pengajaran. Dan semua pengetahuan itu hanya diperoleh
dari pengalaman yang telah dialami dan dijalaninya. Sehingga dengan pengetahuan
tersebut akan membantu guru dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan.
c). Pemanfaatan Waktu
Mengatur waktu atau jam pelajaran sangat diperlukan dalam pembelajaran.
Seorang guru harus cermat dan cekatan dalam membagi waktu yang disediakan dalam
memberikan materi pelajaran, bila tidak cernmat dan cekatan dalam membagi waktu
tersebut, kemungkinan besar akan ketinggalan, sementara materi yang harus
diberikan belum selesai disampaikan. Akibatnya akan berdampak pada semua orang
yang terlibat langsung dalam proses pembelajaran di sekolah. Berkenaan dengan
hal tersebut, Tabrani Rusyan menegaskan: ”Waktu yang tersedia dalam jadwal
untuk setiap pelajaran, untuk setiap catur wulan, untuk setiap satu tahun
ajaran, sangat terbatas. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan waktu yang
tersedia, yang mana diharapkan siswa dapat melakukan berbagai kegiatan belajar
untuk mencapai tujuan pengajaran”.
Dalam mengatur waktu ini erat kaitannya dengan gaya mengajar seorang guru
dalam kelas. Bila guru mampu mengisi waktu tersebut dengan hal-hal positif,
kegiatan yang mengarahkan siswa untuk belajar, maka waktu yang terbatas akan
terasa bermanfaat dan menyenangkan, begitu juga sebaliknya.
2. Faktor siswa
Siswa adalah objek dalam proses pembelajaran. Tanpa ada siswa, mustahil
proses pembelajaran di sekolah dapat berjalan. Komponen utama dalam proses pembelajaran
ini menjadi faktor penentu terhadap keberhasilan pembelajaran, sehingga dapat
mempengaruhi segala sesuatu yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dalam diri siswa itu sendiri,
diantaranya:
a). Minat
Minat adalah rasa lebih suka dan keterikatan akan suatu hal atau aktifitas,
tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu
hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin luas dan
dekat hubungan tersebut, semankin besar minat.
Minat besar pengaruhnya terhadap proses pembelajaran, karena apabila bahan
pelajaran yang dipelajari tidak diminati oleh siswa, mereka tidak akan belajar
tekun dan sungguh-sungguh, karena tidak ada daya tarik. Adapun cara membangkitkan
minat dalam proses pembelajaran adalah:
Dengan menggembirakan dan hubungan baik dengan guru.
Guru sendiri harus menaruh minat terhadap pelajaran tersebut.
Dengan memakai alat peraga dan usaha sendiri.
Sesuaikanlah dengan perkembangan jiwa anak.
b). Perhatian
Seorang guru dituntut semaksimal mungkin agar mampu menyajikan pelajaran
sedemikian rupa, supaya selalu menarik perhatian siswa. Adapun cara untuk
menark perhatian siswa adalah:
pelajaran diupayakan untuk merangsang minat besar anak didik
untuk mengetahui hakikat pengajaran.
Hubungkanlah pelajaran itu dengan kejadian-kejadian dan
peristiwa anak idik disekitarnya.
Alat peraga atau media pengajaran dapat menarik perhatian anak
didik karena media pengajaran dapat memperjelas pengertian dan menenangkan anak
didik.
Pelajaran selalu disesuaikan dengan taraf kamampuan dan
perkembangsn anak didik
Guru hendaknya mempersiapkan bahan pelajaran secara baik
dengan mempergunakan berbagai macam metode yang bervariasi dan yang cocok.
Setiap pelajaran guru dapat memberikan ikhtisar dari setiap
pelajaran yang diberikan tersebut.
c). Kebiasaan Belajar
Kebiasaan belajar siswa merupakan kegiatan mengulangi pelajarannya kembali
dirumah atau diasrama, memperhatikan dan mendengarkan setiap pelajaran guru
saat mengajar di kelas, serta selalu mengerjakan tugas yang diberikan oleh
guru. Hal tersebut memungkinkan tingginya prestasinya belajar siswa.
d). Pengetahuan
Tambahan
Siswa yang menghendaki agar kemampuannya serta prestasi dalam proses
pembelajaran meningkat lebih baik, maka harus meningkatkan pula aktifitasnya
dengan cara belajar sendiri melalui media-media komunikasi yang canggih saat
ini.
e). Latar belakang
pendidikan
Perbedaan latar belakang pendidikan
siswa memberi pengaruh yang cukup kuat terhadap proses pembelajaran di kelas.
3. Faktor Fasilitas
Pendidikan Fasilitas yang memadai pada sebuah lembaga pendidikan akan
memberikan pengaruh positif bagi aktifitas belajar. Adapun fasilitas pendidikan
yang harus disediakan oleh pihak sekolah adalah:
a). Perpustakaan Sekolah
Perpustakaan merupakan alat perlengkapan langsung yang berhubungan dengan
mutu pendidikan dalam rangka pencapaian tujuan karena mempengaruhi efisien
proses belajar mengajar. Jadi dengan adanya perpustakaan di sekolah dapat
menunjang keberhasilan siwa dalam mempelajari mata pelajaran yang
diinginkannya.
b). Buku-buku Pelajaran
Faktor fasilitas ini adalah buku-buku pelajaran yang memuat tentang ilmu
matematika yang telah diprogramkan oleh pemerintah. 4.
4. Faktor Lingkungan
Lingkungan merupakan bagian dari kehidupan anak didik. Dalam
lingkunganlah anak didik hidup dan berinteraksi dalam mata rantai kehidupan
yang disebut ekosistem. Lingkungan adalah suatu yang berada di luar dari anak
dan mempengaruhi terhadap perkembangannya. Dalam hal ini para ahli pendidikan
membagi lingkungan kepada tiga bagian, yaitu:
a). Lingkungan
keluarga
Dalam lingkungan keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak serta famili
yang menjadi penghuni rumah. Tinggi rendahnya pendidikan orang tua, besar
kecilnya penghasilan, cukup atu kurang perhatian dan bimbingan orang tua,
tenang tidaknya situasi dalam rumah, semua itu turut mempengaruhi pencapaian
hasil belajar anak. Jadi lingkungan keluarga yang harmonis akan mampu
membangkitkan semangat belajar anak, dan membantu terhadap keberhasilan belajar
anak tersebut.
b). Lingkungan
sekolah/pesantren
Dalam lingkungan sekolah atau pesantren bila semua pihak yang terkait di dalamnya
saling memahami dan mengerti terhadap hak dan kewajiban masing-masing. Seperti
kualitas guru, metode mengajarnya, kesesuaian kurikulum dengan kemammpuan anak,
keadaan fasilitas atau perlengkapan di sekolah, keadaan ruangan, jumlah murid
perkelas, pelaksanaan tata tertib sekolah, dan sebagainya.
c). Lingkungan
masyarakat.
Dalam lingkungan masyarakat, masyarakat tersebut hanya menjadi pengawas
terhadap yang dilakukan oleh setiap subjek pendidikan dalam arti menilai,
mendukung dan ikut mengantisipasi terhadap segala hal yang tidak diinginkan.
Dengan kata lain bila di sekitar tempat tinggal keadaan masyarakatnya tergolong
orang-orang yang berpendidikan, terutama anak-anaknya rata-rata bersekolah
tinggi dan moralnya baik, hal ini akn mendorong anak lebih giat belajar.
6.
Karakteristik
Siswa SD
Masa usia sekolah dasar
sebagai mesa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia enam tahun hingga
kira-kira usia sebelas tahun atau dua belas tahun. Karakteristik utama siswa
sekolah dasar adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan individual dalam
banyak segi dan bidang, di antaranya, perbedaan dalam intelegensi, kemampuan
dalam kognitif dan bahasa, perkembangan kepribadian dan perkembangan fisik
anak.
Menurut Erikson
perkembangan psikososial pada usia enam sampai pubertas, anak mulai memasuki
dunia pengetahuan dan dunia kerja yang luas. Peristiwa penting pada tahap ini
anak mulai masuk sekolah, mulai dihadapkan dengan tekhnologi masyarakat, di
samping itu proses belajar mereka tidak hanya terjadi di sekolah.
Sedang menurut
Thornburg (1984) anak sekolah dasar merupakan individu yang sedang berkembang,
barang kali tidak perlu lagi diragukan keberaniannya. Setiap anak sekolah dasar
sedang berada dalam perubahan fisik maupun mental mengarah yang lebih baik.
Tingkah laku mereka dalam menghadapi lingkungan sosial maupun non sosial
meningkat. Anak kelas empat, memilki kemampuan tenggang rasa dan kerja sama
yang lebih tinggi, bahkan ada di antara mereka yang menampakan tingkah laku
mendekati tingkah laku anak remaja permulaan.
Menurut Piaget ada lima
faktor yang menunjang perkembangan intelektual yaitu : kedewasaan (maturation),
pengalaman fisik (physical experience), penyalaman logika matematika (logical
mathematical experience), transmisi sosial (social transmission), dan proses
keseimbangan (equilibriun) atau proses pengaturan sendiri (self-regulation )
Erikson mengatakan bahwa anak usia sekolah dasar tertarik terhadap pencapaian
hasil belajar.
Mereka mengembangkan
rasa percaya dirinya terhadap kemampuan dan pencapaian yang baik dan relevan.
Meskipun anak-anak membutuhkan keseimbangan antara perasaan dan kemampuan
dengan kenyataan yang dapat mereka raih, namun perasaan akan kegagalan atau
ketidakcakapan dapat memaksa mereka berperasaan negatif terhadap dirinya sendiri,
sehingga menghambat mereka dalam belajar. Piaget mengidentifikasikan tahapan
perkembangan intelektual yang dilalui anak yaitu : (a) tahap sensorik motor
usia 0-2 tahun, (b) tahap operasional usia 2-6 tahun, (c) tahap opersional
kongkrit usia 7-11 atau 12 tahun, (d) tahap operasional formal usia 11 atau 12
tahun ke atas.
Berdasarkan uraian di
atas, siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional kongkrit, pada tahap
ini anak mengembangkan pemikiran logis, masih sangat terikat pada fakta-fakta
perseptual, artinya anak mampu berfikir logis, tetapi masih terbatas pada
objek-objek kongkrit, dan mampu melakukan konservasi.
Bertitik tolak pada
perkembangan intelektual dan psikososial siswa sekolah dasar, hal ini
menunjukkan bahwa mereka mempunyai karakteristik sendiri, di mana dalam proses
berfikirnya, mereka belum dapat
dipisahkan dari dunia kongkrit atau hal-hal yang faktual, sedangkan
perkembangan psikososial anak usia sekolah dasar masih berpijak pada prinsip
yang sama di mana mereka tidak dapat dipisahkan dari hal-hal yang dapat
diamati, karena mereka sudah diharapkan pada dunia pengetahuan.
Pada usia ini mereka
masuk sekolah umum, proses belajar mereka tidak hanya terjadi di lingkungan
sekolah, karena mereka sudah diperkenalkan dalam kehidupan yang nyata di dalam
lingkungan masyarakat. Nasution (1992) mengatakan bahwa masa kelas tinggi
sekolah dasar mempunyai beberapa sifat khas sebagai berikut : (1) adanya minat
terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang kongkrit, (2) amat realistik, ingin
tahu dan ingin belajar, (3) menjelang akhir masa ini telah ada minat terhadap
hal-hal dan mata pelajaran khusus, oleh ahli yang mengikuti teori faktor
ditaksirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor, (4) pada umumnya anak
menghadap tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha menyelesaikan sendiri, (5)
pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat
mengenai prestasi sekolah, (6) anak pada masa ini gemar membentuk kelompok
sebaya, biasanya untuk bermain bersama-sama.
Seperti dikatakan Darmodjo
(1992) anak usia sekolah dasar adalah anak yang sedang mengalami perrtumbuhan
baik pertumbuhan intelektual, emosional maupun pertumbuhan badaniyah, di mana
kecepatan pertumbuhan anak pada masing-masing aspek tersebut tidak sama,
sehingga terjadi berbagai variasi tingkat pertumbuhan dari ketiga aspek
tersebut. Ini suatu faktor yang menimbulkan adanya perbedaan individual pada
anak-anak sekolah dasar walaupun mereka dalam usia yang sama.
Dengan karakteristik
siswa yang telah diuraikan seperti di atas, guru dituntut untuk dapat mengemas
perencanaan dan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada siswa dengan
baik, menyampaikan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar kehidupan siswa
sehari-hari, sehingga materi pelajaran yang dipelajari tidak abstrak dan lebih
bermakna bagi anak. Selain itu, siswa hendaknya diberi kesempatan untuk pro
aktif dan mendapatkan pengalaman langsung baik secara individual maupun dalam
kelompok.
Karakteristiknya antara
lain:
1.Senang
bermain,
Maksudnya dalam usia
yang masih dini anak cenderung untuk ingin bermain dan menghabiskan waktunya
hanya untuk bermain karena anak masih polos yang dia tahu
hanya bermain maka dari
itu agar tidak megalami masa kecil kurang bahagia anak tidak boleh dibatasi
dalam bermain. Sebagai calon guru SD kita harus mengetahui karakter anak
sehingga dalam penerapan metode atau model pembelajaran bisa sesuai dan
mencapai sasaran, misalnya model pembelajran yang santai namun serius, bermain sambil
belajar, serta dalam menyusun jadwal pelajaran yang berat(IPA, matematika dll.)
dengan diselingi pelajaran yang ringan(keterampilan, olahraga dll.)
2.Senang
bergerak,
Anak senang bergerak
maksudnya dalam masa pertumbuhan fisik dan mentalnya anak menjadi hiperaktif
lonjak kesana kesini bahkan seperti merasa tidak capek mereka tidak mau diam
dan duduk saja menurut pengamatan para ahli anak duduk tenang paling lama
sekitar 30 menit. Oleh karena itu, kita sebagai calon guru hendaknya merancang
model pembelajaran yang memungkinkan anak berpindah atau bergerak. Mungkin dengan
permaianan, olahraga dan lain sebagainya.
3.Senang
bekerja dalam kelompok
Anak senang bekerja
dalam kelompok maksudnya sebagai seorang manusia, anak-anak juga mempunyai
insting sebagai makhluk social yang bersosialisasi dengan orang lain terutama teman
sebayanya, terkadang mereka membentuk suatu kelompok tertentu untuk bermain.
Dalam kelompok tersebut anak dapat belajar memenuhi aturan aturan kelompok,
belajar setia kawan, belajar tidak tergantung pada diterimanya dilingkungan belajar
menerimanya tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain secara sehat
(sportif), mempelajarai olah raga, belajar keadilan dan
demokrasi. Hal ini
dapat membawa implikasi buat kita sebagai calon guru agar menetapkan metode
atau model belajar kelompok agar anak mendapatkan pelajaran
seperti yang telah
disebutkan di atas, guru dapat membuat suatu kelompok kecil misalnya 3-4 anak
agar lebih mudah mengkoordinir karena terdapat banyak perbedaan
pendapat dan sifat dari
anak-anak tersebut dan mengurangi pertengkaran antar anak dalam satu kelompok.
Kemudian anak tersebut diberikan tugas untuk mengerjakannya bersama, disini
anak harus bertukar pendapat anak menjadi lebih menghargai pendapat orang lain
juga.
4.Senang
merasakan/ melakukan sesuatu secara langsung.
Ditinjau dari teori
perkembangan kognitif, anak SD memasuki tahap operasional konkret. Dari apa
yang dipelajari di sekolah, ia belajar menghubungkan konsep
konsep baru dengan
konsep-konsep lama. Jadi dalam pemahaman anak SD semua materi
atau pengetahuan yang
diperoleh harus dibuktikan dan dilaksanakan sendiri agar
mereka bisa paham
dengan konsep awal yang diberikan. Berdasarkan pengalaman ini,
siswa membentuk
konsep-konsep tentang angka, ruang, waktu, fungsi-fungsi badan, pera jenis
kelamin, moral, dan sebagainya. Dengan demikian kita sebagai calon guru hendaknya
merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung
dalam proses
pembelajaran. Sebagai contoh anak akan lebih memahami tentang arah
mata angina, dengan
cara membawa anak langsung keluar kelas, kemudian menunjuk
langsung setiap arah
angina, bahkan dengan sedikit menjulurkan lidah akan diketahui secara persis
dari arah mana angina saat itu bertiup.
5.Anak
cengeng
Pada umur anak SD, anak
masih cengeng dan manja. Mereka selalu ingin diperhatikan dan dituruti semua
keinginannya mereka masih belum mandiri dan harus selalu dibimbing. Di sini
sebagai calon guru SD maka kita harus membuat metode pembelajaran tutorial atau
metode bimbingan agar kita dapat selalu membmbing dan mengarahkan anak,
membentuk mental anak agar tidak cengeng.
6.Anak
sulit memahami isi pembicaraan orang lain.
Pada pendidikan dasar
yaitu SD, anak susah dalam memahami apa yang diberikan guru, disini guru harus
dapat membuat atau menggunakan metode yang tepat misalnya dengan cara metode
ekperimen agar anak dapat memahami pelajaran yang diberikan dengan menemukan
sendiri inti dari pelajaran yang diberikan sedangkan dengan ceramah yang dimana guru Cuma berbicara
didepan membuat anak malah tidak pmemahami isi dari apa yang dibicarakan oleh
gurunya.
7.Senang
diperhatikan
Di dalam suatu
interaksi social anak biasanya mencari perhatian teman atau gurunya mereka
senang apabila orang lain memperhatikannya, dengan berbagai cara dilakukan agar
orang memperhatikannya. Di sini peran guru untuk mengarahkan perasaan anak tersebut
dengan menggunakan metode tanya jawab misalnya, anak yang ingin diperhikan akan
berusaha menjawab atau bertantya dengan guru agar anak lain beserta guru
memperhatikannya.
8.Senang
meniru
Dalam kehidupan sehari
hari anak mencari suatu figur yang sering dia lihat dan dia temui. Mereka
kemudian menirukan apa yang dilakukan dan dikenakan orang yang ingin dia tiru
tersebut. Dalam kehidupan nyata banyak anak yang terpengaruh acara televisi dan
menirukan adegan yang dilakukan disitu, misalkan acara smack down yang dulu
ditayangkan sekarang sudah ditiadakan karena ada berita anak yang melakukan
gerakan dalam smack down pada temannya, yang akhirnya membuat temannya terluka.
Namun sekarang acara televisi sudah dipilah-pilah utuk siapa acara itu ditonton
sebagai calon guru kita hanya dapat mengarahkan orang tua agar selalu mengawasi
anaknya saat dirumah. Contoh lain yang biasanya ditiru adalah seorang guru yang
menjadi pusat perhatian dari anak didiknya. Kita sebagai calon guru harus
menjaga tindakan, sikap,
perkataan, penampilan
yang bagus dan rapi agar dapat memberikan contoh yang baik
untuk anak didik kita.
B.
Metode Pembelajaran Matematika Di SD
Terdapat banyak metode
pembelajaran matematika di Sekolah Dasar yang digunakan antara lain :
1. Metode Ekspositori
Metode eksposition sering disebut dengan
metode ceramah, guru menjelaskan dan menyampaikan informasi, pesan atau konsep
kepada siswa. Langkah-langkah pengajaran eksposition adalah sebagai berikut :
Pertama,
guru menuliskan topik, menginformasikan tujuan pembelajaran, menyampaikan dan
mengulas materi prasyarat, serta memotivasi siswa.
Kedua,
guru menjelaskan dan menyajikan pesan kepada siswa dengan lisan atau tertulis.
Ketiga,
guru meminta siswa mengerjakan soal dengan menggunakan konsep yang disampaikan
guru.
2. Metode Penemuan
Metode penemuan mendorong siswa memahami
sesuatu. Sesuatu tersebut dapat berupa fakta, atau relasi matematika yang masih
baru bagi siswa, misalnya pola, sifat-sifat atau rumus tertentu. Metode
penemuan sering memakan waktu lama, karena kegiatan ini mengembangkan konsep
maupun ketrampilan matematika dan kaitannya
dengan pemecahan masalah maupun ketrampilan
matematika dan kaitannyadengan pemecahan masalah.
3. Metode Laboratori
Metode laboratori merupakan metode
mengajar yang orientasi kegiatannya didasarkan atas percobaan dan penyelidikan
dengan objekobjek fisik. Siswa melakukan penyelidikan individual, berpasangan
atau berkelompok dengan menggunakan benda-benda yang dapat dimanipulasi. Dalam pembelajaran
matematika, juga dapat menggunakan berbagai macam teori belajar salah satu
diantaranya adalah teori belajar J.S Bruner.
Dalam teorinya Bruner
mengungkapkan 3 tahapan belajar yaitu :
1). Tahap
Enactive
Siswa belajar konsep matematika dengan memanipulasi benda-benda (objek) kongkret
secara langsung.
2). Tahap Iconik (Pictorial)
Siswa memahami konsep matematika yang
bersifat abstrak itu dengan bantuan model-model semi kongkret berupa gambar
atau grafik, tabel,
bagan peta dan lain
sebagainya.
3). Tahap Symbolic
Siswa belajar konsep dan operasi
matematika langsung dengan kata-kata atau simbol simbol tanpa bantuan objek
konkret maupun model semi kongkret. Pada pengerjaan hitung bilangan campuran
konsep yang disajikan harus cara lisan dan verbal, dan ini sesuai dengan
pengajaran dengan menggunakan metode ekspositori. Walaupun metode pembelajaran
ini terarah dari guru, namun proses dan hasil pembelajarannya dalam pengerjaan
hitung bilangan campuran akan lebih efektif. Bilangan campuran itu sendiri
adalah bilangan bulat yang dalampenghitungannya terdapat berbagai unsur tanda
hitung. Misalnya :
(24 x 10) : 18 – 10 =
....
Dalam pengerjaan bilangan campuran sangat diperlukan
konsep-konsep yang terarah. Pada tahap penanaman konsep biasanya guru
menggunakan berbagai macam teknik. Didalam metode ekspositori guru menggunakan
teknik aturan yang merupakan proses mengajar dimana guru mengemukakan
aturan-aturan, hukum, prosedur atau rumus tertentu untuk diikuti siswa. Teknik
ini hampir sama dengan teknik definisi dan contoh. Teknik kedua yang digunakan adalah
teknik analisis yang merupakan suatu proses mengajar dimana guru berusaha
memilah-milah atau menguraikan suatu konmsep kedalam langkah-langkah tertentu.
C.
Penggunaan
Media Pembelajaran
Perkembangan ilmu pengetahuan
dan tehnologi semakin mendorong upaya-upaya yang pembaharuan dalam pemanfaat
hasi-hasil tehnologi dalam proses belajar. Para pendidik dituntut agar mampu
menggunakan media yang dapat disediakan oleh sekolah dan tidak tertutup
kemungkinan bahwa media tersebut sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Berbagai macam media pembelajaran merupakan salah satu factor penunjang yang
penting dalam proses peningkatan kualitas belajar mengajar.
Dari berbagai pandangan, disimpulkan
bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan
dari pengirim ke penerima, sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan,
perhatian dan minat siswa sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadi proses
belajar
Media pembelajaran dibedakan atas 6 jenis
media sebagai berikut,
1. Media Pandang ( visual)
2. Media Dengar ( audio)
3. Media pandang dengar(audio-Visual)
4. Media cetak,
5. Objek fisik nyata
6. Media komputer
Kriteria pemilihan media pembelajaran:
1. Media harus sesuai dengan tujuan
pembelajaran
2. Media harus sesuai dengan materi
pembelajaran
3. Media harus sesuai dengan strategi
pembelajaran/prosedural didaktik
4. Media harus sesuai dengan
pengelompokan siswa
Prinsip pemilihan media
yaitu
1. Prinsip efisient/hemat
2. Prinsip ketersediaan
3. Prinsip teknis
4. Prinsip penggunaan
Media dapat di gunakan dalam PBM dengan dua
arah yaitu :
1. Sebagai alat bantu mengajar (dependen
media)
2. Sebagai media belajar yang dapat
digunakan sendiri oleh siswa (independent media)
Media dalam konteks komunikasi memiliki
fungsi yang sangat luas yakni sebagai berikut :
1. Fungsi edukatif,
2. Fungsi sosial,
3. Fungsi ekonomis,
4. Fungsi budaya,
Menurut
Winataputra(Arindawati,2004:47-48), Bahwa media pembelajaran berfungsi sebagai
berikut :
1.
Untuk mewujudkan situasi belajar
mengajar yang lebih efektif
2. Media pembelajaran
sebagai bagian yang integral dari keseluruhan proses pembelajaran
3. Media pembelajaran dalam penggunaannya harus
relevan dengan tujuan dan isi pembelajaran.
4.
Hiburan dan memancing perhatian siswa
5. Untuk mempercepat proses belajar dalam
menangkap tujuan dan bahan ajar secara cepat dan mudah
6. Meningkatkan kualitas belajar mengajar
7. Media pembelajaran
meletakkan dasar-dasar yang konkrit dalam menghindari terjadinya penyakit
verbalisme.
Kelebihan &
kekurangan menggunakan media dalam pembelajaran matematika
Adapun kelebihan menggunakan medioa
dalam pembelajaran matematika antara lain:
a. Bahan pelajaran akan
lebih jelas maknanya sehingga lebih jelas dipahami siswa sehingga memungkinkan
siswa menguasai tujuan pengajaran lebih baik.
b. Metode mengajar akan lebih bervariasi
c. Siswa lebih banyak melakukan kegiatan
belajar
d. Motivasi belajar dari para siswa
dapat ditumbuhkan / dinaikkan
e. Dapat mengatasi sifat pasif dari para
siswa
Adapun kekurangan dalam penggunaan media
dalam pengajaran matematika antara lain:
a. Biaya pengadaan
b. Pengalaman seorang guru dalam
menggunakan media pengajaran tersebut.
Secara khusus untuk
materi Geometri, media pembelajaran yang dianggap sesuai adalah media benda
konkrit. Pembelajaran dengan menggunakan media benda konkrit sifatnya lebih
mampu memberikan pengalaman riil kepada siswa karena siswa dapat melihat,
merasakan dan meraba alat peraga yang digunakan guru. Pengalaman belajar yang
lebih konkrit akan lebih tepat bagi anak usia sekolah dasar. Hal ini sejalan
dengan pendapat Dale tentang kerucut pengalaman sebagaimana dikutip oleh
Hamalik (1996) yang menjelaskan bahwa pengalaman berlangsung dari tingkat yang
konkrit naik menuju tingkat yang lebih abstrak. Alasan lain adalah sebagaimana
yang dikemukakan oleh Suharta (2001) bahwa dalam pembelajaran matematika selama
ini dunia nyata hanya dijadikan tempat mengaplikasikan konsep. Siswa banyak
mengalami kesulitan belajar matematika di kelas. Akibatnya, siswa kurang
menghayati atau memahami konsep-konsep matematika, dan siswa mengalami
kesulitan untuk mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran matematika di kelas perlu ditekankan pada keterkaitan antara
konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari. Alasan lain
khusnya terkait dengan materi Geometri, materi ini merupakan materi yang lebih
berhubungan dengan hal yang bersifat konkrit, yaitu membahas tentang berbagai
konsep bangun ruang yang banyak dijumpai daam kehidupan nyata. Dengan demikian,
maka media benda konkrit diyakini cukup relevan untuk mendukung proses
pembeajaran Geometri pada siswa.
Media
benda konkret merupakan benda-benda tiruan yang
memiiki bentuk sesuai dengan benda aslinya. Kesesuaian yang dimaksud bukanah
selalu sama persis dengan aslinya, akan tetapi lebih ditekankan pada kesesuaian
elemen-elemen yang berperan dalam memberikan bentuk benda. Media benda konkrit
dapat membantu siswa berfikir secara konkrit menuju pada tahap berfikir secara
abstrak. Hal ini terjadi karena melalui media benda konkrit maka pendidik dapat
menyampaikan tentang unsur-unsur yang menyusunnya dan bagaimana mematematisasi
unsur-unsur tersebut untuk proses perhitungan yang bersifat abstrak.
D. Materi Bangun Ruang Sisi Datar
1.
Kubus
Kubus adalah
bangun ruang tiga dimensi yang dibatasi oleh enam bidang sisi yang berbentuk
bujur sangkar. Kubus memiliki 6 sisi, 12 rusuk dan 8 titik sudut. Kubus juga disebut
bidang enam beraturan, selain itu juga merupakan bentuk khusus dalam prisma
segiempat.
Unsur-unsur Kubus
1). Titik Sudut
Titik sudut pada kubus adalah titik temu
atau titik potong ketiga rusuk (titik pojok kubus).
Pada kubus ABCD.EFGH terdapat 8
buah titik sudut yaitu :
A, B, C, D, E, F, G, H,
2). Rusuk Kubus
Rusuk kubus merupakan garis potong
antara sisi-sisi kubus. Penulisan atau penamaan rusuk menggunakan
notasi dua huruf kapital.
Pada kubus
ABCD.EFGH terdapat 12 rusuk yang sama panjang yaitu :
Rusuk Alas : AB, BC, CD, AD
Rusuk Tegak : AE, BF, CG, DH
Rusuk Atas : EF, FG, GH, EH
3). Bidang / Sisi Kubus
Bidang / sisi kubus adalah :
Sisi alas = ABCD
Sisi atas = EFGH
Sisi depan = ABFE
Sisi belakang = CDHG
Sisi kiri = ADHE
Sisi kanan = BCGF
Sisi / Bidang ABCD = EFGH = ABFE = CDHG
= ADHE = BCGF
2.
Balok
Banyak sekali
benda-benda di sekitarmu yang memiliki bentuk seperti balok. Misalnya, kotak
korek api, dus air mineral, dus mie instan, batu bata, dan lain-lain. Mengapa
benda-benda tersebut dikatakan berbentuk balok? Untuk menjawabnya, cobalah
perhatikan dan pelajari uraian berikut.
2.1. Pengertian Balok
Perhatikan gambar kotak korek api pada
Gambar 8.12 (a). Jika kotak korek api tersebut digambarkan secara geometris,
hasilnya akan tampak seperti pada Gambar 8.12 (b) . Bangun ruang ABCD.EFGH pada
gambar tersebut memiliki tiga pasang sisi berhadapan yang sama bentuk dan
ukurannya, di mana setiap sisinya berbentuk persegipanjang. Bangun ruang
seperti
ini disebut balok. Berikut ini adalah
unsur-unsur yang dimiliki oleh balok ABCD.EFGH pada Gambar 8.12 (b) .
a. Sisi/Bidang
Sisi balok adalah bidang yang membatasi
suatu balok. Dari Gambar 8.12 (b), terlihat bahwa balok ABCD.EFGH memiliki 6
buah sisi berbentuk persegipanjang. Keenam sisi tersebut adalah ABCD (sisi
bawah), EFGH (sisi atas), ABFE (sisi depan), DCGH (sisi belakang), BCGF (sisi
samping kiri), dan ADHE (sisi samping kanan). Sebuah balok memiliki tiga pasang
sisi yang berhadapan yang sama bentuk
dan ukurannya. Ketiga pasang sisi tersebut adalah ABFE dengan DCGH, ABCD dengan
EFGH, dan BCGF dengan ADHE.
b. Rusuk
Sama seperti dengan kubus, balok
ABCD.EFGH memiliki 12 rusuk. Coba perhatikan kembali Gambar 8.12 (b) secara
seksama. Rusuk-rusuk balok ABCD. EFGH adalah AB, BC, CD, DA, EF, FG, GH, HE,
AE, BF, CG, dan HD.
c. Titik Sudut
Dari Gambar 8.12 , terlihat bahwa balok
ABCD.EFGH memiliki 8 titik sudut, yaitu A, B, C, D, E, F, G, dan H. Sama halnya
dengan kubus, balok pun memiliki istilah diagonal bidang, diagonal ruang, dan
bidang diagonal. Berikut ini adalah uraian mengenai istilah-istilah berikut.
2.2. Sifat-Sifat Balok
Balok memiliki sifat yang hampir sama
dengan kubus. Amatilah balok ABCD. EFGH pada gambar di sam. ping. Berikut ini
akan diuraikan sifat-sifat balok.
a. Sisi-sisi balok berbentuk
persegipanjang.
Coba kamu perhatikan sisi ABCD, EFGH,
ABFE, dan seterusnya. Sisi-sisi tersebut memiliki bentuk persegipanjang. Dalam
balok, minimal memiliki dua pasang sisi yang berbentuk persegi panjang.
b. Rusuk-rusuk yang sejajar memiliki
ukuran sama panjang.
Perhatikan rusuk-rusuk balok pada gambar
disampin.g Rusuk-rusuk yang sejajar seperti AB, CD, EF, dan GH memiliki ukuran
yang sama panjang begitu pula dengan rusuk AE, BF, CG, dan DH memiliki ukuran
yang sama panjang.
c. Setiap diagonal bidang pada sisi yang
berhadapan memiliki ukuran sama panjang.
Dari gambar terlihat bahwa panjang
diagonal bidang pada sisi yang berhadapan, yaitu ABCD dengan EFGH, ABFE dengan DCGH,
dan BCFG dengan ADHE memiliki ukuran yang sama panjang.
d. Setiap diagonal ruang pada balok
memiliki ukuran sama panjang.
Diagonal ruang pada balok ABCD.EFGH,
yaitu AG, EC, DF, dan HB memiliki panjang yang sama.
e. Setiap bidang diagonal pada balok memiliki bentuk
persegipanjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apresiasikan partisipasi anda dengan like atau komentar setelah mendownload laman ini. Terima kasih atas partisipasinya.